Makalah Materi PAI"CInta,Akhlak dan Amal Sholeh"

Image
MAKALAH MATERI PAI “Cinta,Akhlak,dan Amal Sholeh” Dosen Pengampu : Misnan, M.Pd Disusun Oleh : v Mutiara Fadhilah Nasution Prodi        : Manajemen Pendidikan Islam ( MPI ) Semester : IV ( Empat ) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUMATERA (STAIS) MEDAN KATA PENGANTAR Alhamdulilllah,Saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya, makalah ini dapat Saya selesaikan. Shalawat dan salam kepada nabi Muhammad SAW, pembimbing umat menuju cahaya kebenaran illahi. Adapun pembuatan makalah ini dimaksudkan untuk diajukan sebagai syarat   dalam diskusi kelompok pada mata kuliah MATERI PAI tentang Cinta,Akhlak,dan Amal Sholeh. Mengingat isinya sangat penting seba gai bahan pembelajaran agar ter capainya tujuan dalam menghadapi dan memecahkan masalah,baik masalah individu ataupun masalah kelompok. Mudah-mudahan makalah ini besar   manfaatnya bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis menjadi amal yang sholeh yang bisa menghantarkan kesu

Makalah Mata kuliah MPDP FIQH dan USHUL FIQH tentang IJMA'

MAKALAH MPDP FIQH & USHUL FIQH
“ Ijma’ ”



Dosen Pengampu : Abdul Muthalib,M.A

Disusun Oleh :

Sukhron Ependi Harahap (PAI SAMBU)
Erni Susanti (PAI SAMBU)
M.Sofyan (PAI SAMBU)
Hamidah (PAI MARELAN)
Nuraidah (PAI MARELAN)
Prodi          : Pendidikan Agama Islam ( PAI )
Semester    : VII( Tujuh )

SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM SUMATERA
(STAIS)
MEDAN






KATA PENGANTAR

Alhamdulilllah,Kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya, makalah ini dapat Kami selesaikan. Shalawat dan salam kepada nabi Muhammad SAW, pembimbing umat menuju cahaya kebenaran illahi.
Adapun pembuatan makalah ini dimaksudkan untuk diajukan sebagai syarat  dalam pada mata kuliah MPDP FIQH & USHUL FIQH dengan Pembahasan “ Ijma’ ”
Mengingat isinya sangat penting sebagai bahan pembelajaran agar tercapainya tujuan dalam menghadapi dan memecahkan masalah,baik masalah individu ataupun masalah kelompok.
Mudah-mudahan makalah ini besar  manfaatnya bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis menjadi amal yang sholeh yang bisa menghantarkan kesuksesan dalam belajar.






     



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................... ii
BAB I   PENDAHULUAN
I.3. Latar Belakang....................................................................... 1
I.2. Rumusan Masalah.................................................................. 1
I.1. Tujuan.................................................................................... 1
BAB II  PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Ijma’..........................………..…...….…………...... 2
II.2 Syarat-Syarat  Ijma’....................…………......…...................... 4
II.3 Macam-Macam Ijma’........................………………............. 5
II.4 Kemungkinan terjadinya ijma’……………….......................... 6
II.5 Kehujjaan Ijma menurut Al-Qur’an & Hadist.............................. 7
BAB III  PENUTUP
III.1. Kesimpulan.......................................................................... 12
III.2 Saran………………………………........………………….. 12
Daftar Pustaka……………...…………………………………….. 13


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma’ ini maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.

I.2 Rumusan Masalah
Apa Pengertian ijma’?
Apa Syarat-syarat ijma’?
Apa saja Macam-macam ijma’?
Bagaimana Kemungkinan terjadinya ijma’?
Bagaimana Kehujjaan Ijma menurut pandangan ulama’.dan dari  Al-Qur’an & Hadist?
I.3 Tujuan Penulisan
Untuk dapat mengetahui pengertian ijma’.
Untuk dapat mengetahui syarat-syarat ijma’.
Untuk dapat mengetahui macam-macam ijma’.
Untuk dapat mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’.
Untuk dapat memahami kehujjahan ijma menurut pandangan ulama dan Al-Qur’an & Hadist
Untuk dapat memenuhi tugas mata kuliah MPDP FIQH & USHUL FIQH.
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum)
Pada referensi yang lainnya ada yang mengatakan Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna: 
Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ  (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Secara etimologi, ijma’ dapat dibagi menjadi dua arti, yakni :
Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yunus ayat 71 :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِ
بِآَيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ
عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُون
Artinya :“dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya, “hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat allah, maka kepada allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku dan janganlah kamu member tangguh kepadaku.”
Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-ijma’ bila mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman allah dalam Q.S. Yusuf ayat 15 :

فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُون
Artinya :
“maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkanya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan dia (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”
Terminologi
Para Ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya :
Pengarang Kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
Pengarang Kitab Tahrir, al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’.
Sedangkan menurut istilah para ahli ushul  fiqih dirumuskan sebagai berikut :               
 “  Ijma’ ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu stelah wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa (kejadian )”.
Ijma’ menurut para ulama’ :
1.Menurut Imam Ghazali 
Ijma’ adalah kata sepakat (ittifaq) umat Muhammad SAW. Khusus mengenai suatu persoalan keagamaan.
2.Menurut Al Amidi
Ijma’ itu ialah formulasi tentang kata sepakat kelompok yang berwenang mengambil keputusan dari umat Muhammad SAW pada suatu masa tertentu tentang ketentuan suatu kasus tertentu.
3.Menurut Nasa’i
Ijma’ itu adalah kata sepakat para ulama yang mempunyai kewenangan ber ijtihad, pada setiap masa pada suatu hukum.
4.Menurut Syaukani
Ijma’ ialah kata sepakat para Mujtahidin dari umat Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya pada masa tertentu tentang suatu persoalan.
5.Menurut Syi’ah Imamiyah
Ijma’ itu adalah suatu kesepakatan yang mengungkapkan sabda al-ma’shum, baik kata sepakat itu dari seluruh umat atau hanya sebagian.
6.Menurut Al Nazhzham (tokoh Mu’tazilah)
ijma’ itu ialah semua pendapat yang didukung oleh hujjahnya sekalipun pendapat itu hanya pendapat satu orang saja
7.Syeikh Islam Ibnu Taimiyah
Ijma’ adalah sumber hukum ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama, mereka menimbang seluruh amalan dan perbuatan manusia baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama dengan ketiga sumber hukum ini.
II.2 Syarat-Syarat Ijma’
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Disepakati para Mujtahid
Para ulama berselisih paham mengenai pengertian mujtahid, Namun diantara perbedaan pendapat itu sebenarnya mempuyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakannya.
Disepakati oleh seluruh Mujtahid
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah apabila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud ijma’ termasuk juga kesepakatan sebagian besar dari mereka. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.
Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang ber-ijma’ . Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.


Dilakukan setelah wafatnya nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.
Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Kesepakatan yang ada harus berkaitan dengan syari’at, seperti wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain.
II.3 Macam-macam Ijma’
Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1.Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu ijma shorikh, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan. Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai suatu kejadian setelah terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai kejadian itu.
2.Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni
Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam atau tidak memberi tanggapan itu dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang sudah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang menyatakan :“ diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan”.
Ijma’ Sukuti dikatakan sah apabila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :
Diamnya para mujtahid benar-benar  tidak menunjukkan kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’ sukuti melainkan ijma’ sharih.
Keadaan diamnya mujtahid itu cukup lama yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dhanni.
Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai berikut:
1.Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada masa tertentu.
2. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah terhadap sesuatu urusan hukum.
3. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam  suatu masalah.
4. Ijma’  Khulafaur Rasyidin, yaitu :           
 اتفاق الخلفء الاربعة على امر من الامور الشّرعّة
“Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil dalam satu masa atas suatu hukum.”
5. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam suatu masalah.
II.4 Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’I ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka .
II.5 Kehujjahan ijma’ 
dilandasi oleh sejumlah ayat alqur’an, diantaranya :
Surat al-baqarah 2 : 143
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمٌةً وَسَطًا لٍتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا 

Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Surat luqman 31 : 15
وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ اِلَيَّ ...
Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku (Allah)
Surat al-a’raf  7 : 181
وَ مِمَّنْ خَلَقْنَا اُمَّةً يَهْدُوْنَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُوْنَ

Dan diantara orang-orang yang kami cciptakan, ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itu (pula) mereka menjalankan keadilan.
Disamping itu dilandasi pula oleh sejumlah hadits, yakni :
Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi
لاَ تَجْتَمِعْ أُمَّتِيْ عَلَى الْخَطَاءِ
Umatku tidak mungkin bersepakat terhadap sesuatu yang keliru.
Hadits mu’awiyah ibn abi sufyan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ

Senantiasa segolongan umatku membela/menegakkan kebenaran, dan tidak akan membahayakan mereka, orang-orang yang menentang mereka.
Hadits al-Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani

مَا رَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ

Persatuan itu mendatangkan rahmat dan perpecahan itu mendatangkan adzab.

Contoh-Contoh Ijma’
Berikut merupakan beberapa contoh ijma’.
1.Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2.Saudara-saudara seibu –sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al- a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan ijma’.
3.Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a.
4.Menjadikan as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Para mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan as Sunah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
5.Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
Beliau bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
Dasar Hukum Ijma’
Jumhur ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa ijma’ sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus mempunyai landasan dari nash atau qiyas. Apabila ijma’ tidak punya landasan, maka ijma’ tersebut tidak sah.Jumhur ulama’ berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qath’i (pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur ulama’ menempatkan ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan sunnah.Menurut jumhur ulama’, dalil ijma’ sebagai hujjah yang pasti didasarkan atas dalil-dalil berikut:
1. Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri diantara kamu.
Menurut jumhur ulama’ ushul fiqh, lafad ulil amri dalam ayat tersebut bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya). Sebagian ulama’ tafsir, terutama Ibnu Abbas telah menafsiri ulil amri dengan ulama’. Ulama’ tafsir lainnya    menafsiri ulil amri dengan para pemimpin (umara’) dan penguasa (wulat). Yang jelas tafsirnya meliputi semuanya, dan juga meliputi keharusan taat kepada setiap kelompok (dari kelompok yang telah dijadikan objek dalam tafsir) mengenai hal-hal yang seharusnya ditaati. Apabila ulil amri, yakni para mujtahid telah mengadakan ijma’ atas suatu hukum, maka wajib diikuti dan dilaksanakan hukum mereka berdasarkan nash Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Jumhur ulama’ berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditujukan kepada orang yang menentang Rasulullah SAW dan tidak mengikuti jalan orang mukmin. Ancaman siksa hanya ditujukan kepada orang yang melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Dalam pada itu, ijma’ adalah mengikuti jalan orang-orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib. Dengan demikian, mengikuti ijma’ adalah wajib.
3. Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 83
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Artinya:
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).
4. Surat Al-Baqarah ayat 143
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Artinya:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Kata al-wasth (pertengahan) pada ayat diatas mengandung arti adil dan terpilih. Sedangkan kesepakatan yang lahir dari umat yang adil dan terpilih adalah al-haqq (kebenaran). Karena ijma’ lahir dari umat Islam yang adil dan terpilih tersebut, maka sesuatu yang dihasilkan ijma’ adalah kebenaran.
5. Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Pujian yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam pada ayat diatas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang adil dan pilihan. Karena itu, ijma’ yang mereka hasilkan merupakan hujjah.
5. Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
أُمَّتِيْ لَاتَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
Artinya: Umatku tidak akan bersepakat atas suatu kesesatan.
Hadis ini merupakan hadis mutawatir ma’nawiy (keberadaan maknanya bersifat pasti). Dan dilihat dari segi dalalah, hadis ini juga mencapai derajat qath’i (pasti benar) dalam menunjuk pengertian wajib mengikuti ijma’. Dengan demikian, ditinjau dari segi sanad dan matannya, hadis ini merupakan nashsh al-qath’i (nash yang bersifat pasti keberadaannya dan kebenarannya) dalam menunjuk kewajiban mengikuti ijma’.
6. Dalil hadis lainnya ialah:
عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن الله لا يجتمع أمتي أو قال أمة محمد صلى الله عليه وسلم على ضلالة ويد الله مع الجماعة ومن شذ شذ إلى النار.
Artinya:
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menyatukan umatku – atau katanya: umat Muhammad SAW, – dalam kesesatan, dan ‘tangan’ Allah bersama jamaah, dan barangsiapa yang menyendiri maka ia akan menyendiri ke dalam neraka”.
3. Akal Pikiran
Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam ijtihadnya ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya.Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
Hukum mengingkari ijma’
Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka ijma’ tersebut tidak boleh dibatalkan dan dihapus (dinasakh) oleh orang-orang yang telah berijma’ kepadanya. Sebab, ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah syar’iyah qath’iyah, yang wajib mereka amalkan dan tidak boleh mereka langgar. Ini merupakan pendapat ulama’ yang beranggapan bahwa ijma’ itu terjadi karena kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan ketika mereka sudah wafat.
Namun, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa para mujtahid diperbolehkan membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika menurut mereka pendapatnya yang lalu itu terdapat.kesalahan. ini adalah pendapat ulama yang mensyaratkan tetap terjadi ijma’, meskipun para mujtahidnya sudah wafat.
Dan telah jelas bahwa pendapat yang tidak membolehkan perubahan hukum yang telah diijma’kan, adalah jika ijma’ itu disandarkan pada kitab Al-qur’an, Sunah, dan Qiyas. Adapun ijma’ yang ditegakkan di atas maslahat, menurut yang berpendapat demikian, maka mungkin dinasakh oleh hukum yang lebih kuat dan mungkin diganti dengannya, jika maslahat yang dipakai itu berubah. Dengan demikian,melanggar dan menyalahi ijma’ sama juga dengan menyalahi hukum Allah yang wajib diikuti.






BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’I memandang bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya.
Kedudukan Ijma’ itu menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan Ijma’dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Dari keterangan diatas dapat juga di pahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut.

III.2 Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.



DAFTAR PUSTAKA



Syafe’I Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Departemen Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2011). 
Abu Zahrah, Muhammad. 2003. UshulFiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus. 
Wahhab,Abdul Khalaf. 2000. Kaidah- KaidahHukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suratno, dkk. 2011. ModulSiap Un Kemenag. Semarang: Dina utama 
Jumantoro, Totok. 2005.Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: BumiAksara.
Asmawi, 2011 Perbandingan Ushul Fiqh .jakarta : Amzah, 
Umam ,Khairul.1998 Ushul Fiqh-1.Bandung : Pustaka Setia
http://anggrekvanda15.blogspot.com/2017/10/makalah-ushul-fiqh-ijma.html?m=1 
http://aisyah-iskandar.blogspot.com/2012/05/makalah-al-ijma.html?m=1 


Comments

Popular posts from this blog

Makalah Mengkafani Jenazah.

Makalah Materi PAI"CInta,Akhlak dan Amal Sholeh"

MAKALAH PERENCANAAN EVALUASIPEMBELAJARAN